Koperasi sebagai suatu sistem ekonomi, mempunyai kedudukan (politik)
yang cukup kuat karena memiliki cantolan konstitusional, yaitu berpegang
pada Pasal 33 UUD 1945, khususnya Ayat 1 yang menyebutkan bahwa
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan”. Dalam Penjelasan UUD 1945 itu dikatakan bahwa bangun
usaha yang paling cocok dengan asas kekeluargaan itu adalah Koperasi.
Tafsiran itu sering pula dikemukakan oleh Mohammad Hatta, yang sering
disebut sebagai perumus pasal tersebut. Pada Penjelasan konstitusi
tersebut juga dikatakan, bahwa sistem ekonomi Indonesia didasarkan pada
asas Demokrasi Ekonomi, di mana produksi dilakukan oleh semua dan untuk
semua yang wujudnya dapat ditafsirkan sebagai Koperasi.
Dewasa ini, di dunia ada dua macam model Koperasi. Pertama, adalah
Koperasi yang dibina oleh pemerintah dalam kerangka sistem sosialis.
Kedua, adalah Koperasi yang dibiarkan berkembang di pasar oleh
masyarakat sendiri, tanpa bantuan pemerintah. Jika badan usaha milik
negara merupakan usaha skala besar, maka Koperasi mewadahi usaha-usaha
kecil, walaupun jika telah bergabung dalam Koperasi menjadi badan usaha
skala besar juga. Di negara-negara kapitalis, baik di Eropa Barat,
Amerika Utara dan Australia, Koperasi juga menjadi wadah usaha kecil dan
konsumen berpendapatan rendah. Di Jepang, Koperasi telah menjadi wadah
perekonomian pedesaan yang berbasis pertanian.
Di Indonesia, Bung Hatta sendiri menganjurkan didirikannya tiga macam
Koperasi. Pertama, adalah Koperasi konsumsi yang terutama melayani
kebutuhan kaum buruh dan pegawai. Kedua, adalah Koperasi produksi yang
merupakan wadah kaum petani (termasuk peternak atau nelayan). Ketiga,
adalah Koperasi kredit yang melayani pedagang kecil dan pengusaha kecil
guna memenuhi kebutuhan modal. Bung Hatta juga menganjurkan
pengorganisasian industri kecil dan Koperasi produksi, guna memenuhi
kebutuhan bahan baku dan pemasaran hasil.
Menurut Bung Hatta, tujuan Koperasi bukanlah mencari laba yang
sebesar-besarnya, melainkan melayani kebutuhan bersama dan wadah
partisipasi pelaku ekonomi skala kecil. Tapi, ini tidak berarti, bahwa
Koperasi itu identik dengan usaha skala kecil. Koperasi bisa pula
membangun usaha skala besar berdasarkan modal yang bisa dikumpulkan dari
anggotanya, baik anggota Koperasi primer maupun anggota Koperasi
sekunder. Contohnya adalah industri tekstil yang dibangun oleh GKBI
(Gabungan Koperasi Batik Indonesia) dan berbagai Koperasi batik primer.
Karena kedudukannya yang cukup kuat dalam konstitusi, maka tidak sebuah
pemerintahpun berani meninggalkan kebijakan dan program pembinaan
Koperasi. Semua partai politik, dari dulu hingga kini, dari Masyumi
hingga PKI, mencantumkan Koperasi sebagai program utama. Hanya saja
kantor menteri negara dan departemen Koperasi baru lahir di masa Orde
Baru pada akhir dasarwarsa 1970-an. Karena itu, gagasan sekarang untuk
menghapuskan departemen Koperasi dan pembinaan usaha kecil dan menengah,
bukan hal yang mengejutkan, karena sebelum Orde Baru tidak dikenal
kantor menteri negara atau departemen Koperasi. Bahkan, kabinet-kabinet
yang dipimpin oleh Bung Hatta sendiri pun tidak ada departemen atau
menteri negara yang khusus membina Koperasi.
Pasang-surut Koperasi di Indonesia
Koperasi di Indonesia dalam perkembangannya mengalami pasang dan surut.
Sebuah pertanyaan sederhana namun membutuhkan jawaban njelimet,
terlontar dari seorang peserta. “Mengapa jarang dijumpai ada Koperasi
yang bertumbuh menjadi usaha besar yang menggurita, layaknya pelaku
ekonomi lain, yakni swasta (konglomerat) dan BUMN? Mengapa gerakan ini
hanya berkutat dari persoalan yang satu ke persoalan lain, dan cenderung
stagnan alias berjalan di tempat? Mengapa Koperasi sulit berkembang di
tengah “habitat” alamnya di Indonesia?” Inilah sederet pertanyaan yang
perlu dijadikan bahan perenungan.
Padahal, upaya pemerintah untuk “memberdayakan” Koperasi seolah tidak
pernah habis. Bahkan, bila dinilai, mungkin amat memanjakan. Berbagai
paket program bantuan dari pemerintah seperti kredit program: KKop,
Kredit Usaha Tani (KUT), pengalihan saham (satu persen) dari perusahaan
besar ke Koperasi, skim program KUK dari bank dan Kredit Ketahanan
Pangan (KKP) yang merupakan kredit komersial dari perbankan, juga “paket
program” dari Permodalan Nasional Madani (PNM), terus mengalir untuk
memberdayakan gerakan ekonomi kerakyatan ini. Tak hanya bantuan program,
ada institusi khusus yang menangani di luar Dekopin, yaitu Menteri
Negara Urusan Koperasi dan PKM (Pengusaha Kecil Menengah), yang
seharusnya memacu gerakan ini untuk terus maju. Namun, kenyataannya,
Koperasi masih saja melekat dengan stigma ekonomi marjinal, pelaku
bisnis yang perlu dikasihani, pelaku bisnis “pupuk bawang”, pelaku
bisnis tak profesional.
Masalah tersebut tidak bisa dilepaskan dari substansi Koperasi yang
berhubungan dengan semangat. Dalam konteks ini adalah semangat
kekeluargaan dan kegotongroyongan. Jadi, bila Koperasi dianggap kecil,
tidak berperan, dan merupakan kumpulan serba lemah, itu terjadi karena
adanya pola pikir yang menciptakan demikian.
Singkatnya, Koperasi adalah untuk yang kecil-kecil, sementara yang
menengah bahkan besar, untuk kalangan swasta dan BUMN. Di sinilah
terjadinya penciptaan paradigma yang salah. Hal ini mungkin terjadi
akibat gerakan Koperasi terlalu sarat berbagai embel-embel, sehingga ia
seperti orang kerdil yang menggendong sekarung beras di pundaknya.
Koperasi adalah “badan usaha”, juga “perkumpulan orang” termasuk yang
“berwatak sosial”. Definisi yang melekat jadi memberatkan, yakni
“organisasi sosial yang berbisnis” atau “lembaga ekonomi yang mengemban
fungsi sosial.”
Berbagai istilah apa pun yang melekat, sama saja, semua memberatkan
gerakan Koperasi dalam menjalankan visi dan misi bisnisnya. Mengapa
tidak disebut badan usaha misalnya, sama dengan pelaku ekonomi-bisnis
lainnya, yakni kalangan swasta dan BUMN, sehingga ketiganya memiliki
kedudukan dan potensi sejajar. Padahal, persaingan yang terjadi di
lapangan demikian ketat, tak hanya sekadar pembelian embel-embel. Hanya
kompetisi ketat semacam itulah yang membuat mereka bisa menjadi
pengusaha besar yang tangguh dan profesional. Para pemain ini akan
disaring secara alami, mana yang efisien dalam menjalankan bisnis dan
mereka yang akan tetap eksis.
Koperasi yang selama ini diidentikkan dengan hal-hal yang kecil,
pinggiran dan akhirnya menyebabkan fungsinya tidak berjalan optimal.
Memang pertumbuhan Koperasi cukup fantastis, di mana di akhir tahun 1999
hanya berjumlah 52.000-an, maka di akhir tahun 2000 sudah mencapai
hampir 90.000-an dan di tahun 2007 ini terdapat ——– Koperasi di
Indonesia. Namun, dari jumlah yang demikian besar itu, kontribusinya
bagi pertumbuhan mesin ekonomi belum terlalu signifikan. Koperasi masih
cenderung menempati ekonomi pinggiran (pemasok dan produksi), lebih dari
itu, sudah dikuasai swasta dan BUMN. Karena itu, tidak aneh bila
kontribusi Koperasi terhadap GDP (gross domestic product) baru sekitar
satu sampai dua persen, itu adalah akibat frame of mind yang salah.
Di Indonesia, beberapa Koperasi sebenarnya sudah bisa dikatakan memiliki
unit usaha besar dan beragam serta tumbuh menjadi raksasa bisnis
berskala besar. Beberapa Koperasi telah tumbuh menjadi konglomerat
ekonomi Indonesia, yang tentunya tidak kalah jika dibandingkan dengan
perusahaan swasta atau BUMN yang sudah menggurita, namun kini banyak
yang sakit. Omzet mereka mencapai milyaran rupiah setiap bulan.
Konglomerat yang dimaksud di sini memiliki pengertian: Koperasi yang
bersangkutan sudah merambah dan menangani berbagai bidang usaha yang
menguasai hajat hidup orang banyak dan merangsek ke berbagai bidang
usaha-bisnis komersial.
sumber : http://blog.djarumbeasiswaplus.org/sigitandi/koperasi-sebagai-dalam-sistem-ekonomi.html