Jumat, 19 Desember 2014

MORALITAS KORUPTOR



NAMA           : MUHAMMAD IQBAL KHOZIANA
NPM              : 14211877
KELAS          : 4EA17
TUGAS KE   : 4 SOFTSKILL (ETIKA BISNIS)


MORALITAS KORUPTOR


ABSTRAK

Muhammad Iqbal Khoziana, 4EA17, 14211877

MORALITAS KORUPTOR
Makalah. Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma, 2014
Kata kunci : Moralitas Koruptor

Penulisan yang berjudul “ Moralitas Koruptor“ ini membahas  tentang korupsi yang semakin marak dewasa ini, mengapa bisa terjadi dan bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis dan siapa yang harus bertanggung jawab. Makalah ini dilatarbelakangi Korupsi bertumbuh sangat subur dan rumit sehingga siap meruntuhkan setiap struktur masyarakat. Di beberapa negeri, apa saja diselesaikan dengan pelicin. Suap yang diberikan kepada orang yang tepat memungkinkan seseorang lulus ujian, mendapatkan SIM, memperoleh tender, atau memenangkan perkara hukum.. Metode penulisan ini dengan cara mengumpulkan berbagai informasi yang dari sumber-sumber yang terdapat di internet. Berdasarkan pencarian penulis di internet ternyata Korupsi dewasa ini telah menjadi bisnis yang menjanjikan. Para pelakunya merencanakannya dengan perhitungan bisnis yang matang. Oleh karena itu, hukuman tiga atau empat tahun dianggap sebagai biaya yang harus ditanggung demi mencapai hasil besar yang diinginkan.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyuapan khususnya merajalela di dunia perdagangan. Beberapa perusahaan mengalokasikan sepertiga dari seluruh keuntungan mereka hanya untuk menyuap para birokrat pemerintah yang korup. Menurut majalah Inggris The Economist, 10 persen dari 25 miliar dolar yang dibelanjakan setiap tahun pada perdagangan senjata internasional dihabiskan untuk menyuap calon pelanggan. Skala korupsi semakin membengkak, dan akibatnya sungguh tragis. Selama sepuluh tahun terakhir, kapitalisme ”kroni”—praktek bisnis korup yang mementingkan koneksi—dikabarkan telah menjatuhkan perekonomian dunia.
Tak pelak lagi, yang paling menderita akibat korupsi dan keruntuhan ekonomi ini adalah orang-orang miskin—orang-orang yang jarang mendapat kesempatan untuk melakukan penyuapan. Seperti yang dengan tepat dinyatakan oleh The Economist, ”korupsi tidak lain adalah suatu bentuk penindasan”. Dapatkah penindasan semacam ini ditanggulangi, atau apakah korupsi memang tak terelakkan? Untuk menjawabnya, pertama-tama kita harus mengidentifikasi beberapa penyebab dasar korupsi.
Korupsi bukanlah merupakan barang yang baru dalam sejarah peradaban manusia. Fenomena ini telah dikenal dan menjadi bahan diskusi bahkan sejak 2000 tahun yang lalu ketika seorang Perdana Menteri Kerajaan India bernama Kautilya menulis buku berjudul Arthashastra.
Indonesia adalah salah satu negara terkorup di dunia. Korupsi bisa dilakukan melalui berbagai jalur, ada yang melalui pinjaman dari Negara asing, sehingga semakin besar pinjaman asing semakin besar dana yang disalahgunakan, melalui perjalanan dinas, melalui pengadaan barang, pungutan pajak, pungutan liar, bahkan sampai dana untuk orang miskin dan bencana alam. Korupsi benar-benar merupakan perbuatan yang menghancurkan generasi muda dan memiskinkan rakyat Indonesia.
Kasus korupsi di Indonesia yang sudah terjadi selama puluhan tahun berhasil diungkap satu per satu saat reformasi digulirkan pada 1998. Peristiwa 1998 ini pun dianggap sebagai peristiwa bersejarah, bahkan mampu menyebabkan hilangnya beberapa nyawa. Kasus korupsi yang terbongkar dimulai dengan tuduhan korupsi yang dilakukan pemimpin rezim Orde Baru, lalu beberapa kasus korupsi pejabat lain.
Kasus korupsi tampaknya sudah mendarah daging di kalangan masyarakat Indonesia, terutama yang menduduki posisi pejabat Negara. Sejatinya, mereka mengayomi serta menjamin kesejahteraan rakyat. Namun, menjamin kesejahteraan diri dan keluarga tampaknya lebih menarik hai para pejabat sehingga tidak heran jika pemberitaan kasus korupsi terus menghiasi layar kaca.
Uang yang dirampok para maling kakap itu pun tidak tanggung – tanggung. Jumlah uang yang dilipat itu, bahkan, bias mencapai jumlah ratusan miliar dan ratusan triliun. Sungguh angka yang fantastis dan cukup digunakan untuk mengangkat “derajat” serta memperjuangkan hak hidup masyarakat Indonesia dari ranah kemiskinan.
Tindak korupsi yang ada di Indonesia saat ini sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan Negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan yang semakin sistematis oleh pejabat Negara.
Korupsi bisa dikatakan sebagai hal yang tidak terlepaskan dari kehidupan bangsa Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari “prestasi” bangsa Indonesia dengan menduduki peringkat-peringkat atas negara terkorup di dunia dalam beberapa tahun belakangan ini. .


1.2  Batasan Masalah

Dalam penyusunan ini penulis membatasi menjadi beberapa sub pokok bahasan meliputi :
 
1. Mengapa semakin marak korupsi yang ada di Indonesia dan mengapa bisa terjadi?
   
2.  Bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis?
   
3.  Siapa yang bertanggung jawab akan adanya korupsi di Indonesia?

1.3  Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulis untuk memenuhi tugas softskill mata kuliah Etika Bisnis dalam membuat jurnal atau tulisan tentang Moralitas Koruptor apa saja. Maksud dari penulisan ini adalah :
   
1.   Untuk mengetahui penyebab terjadinya korupsi di Indonesia.
   
2.   Untuk mengetahui jenis-jenis korupsi dan stop terjadinya korupsi di Indonesia.

3. Dapat memberikan gambaran/kriteria dalam pengambilan keputusan/solusi kasus korupsi.



BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Moral
Moral adalah kaidah mengenai apa yang baik dan buruk. Sesuatu yang baik kemudian diberi label “bermoral.” Sebaliknya, tindakan yang bertentangan dengan kebaikan lantas dikategorikan sebagai sesuatu yang jahat, buruk, atau: “tidak bermoral.”
            Semua orang sepakat bahwa manusia adalah makhluk yang istimewa, unik, dan berbeda dengan aneka ciptaan Tuhan yang lain. Keunikan tersebut menjadi faktor pembeda yang tegas antara manusia dan makhluk yang lain. Lalu apa yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain? Tentu akal budinya!
            Akal budi inilah yang memampukan manusia untuk membedakan apa yang baik dan yang buruk. Dengan demikian manusia tidak tunduk pada insting belaka. Aneka nafsu, hasrat, dan dorongan alamiah apapun diletakkan secara harmonis di bawah kendali budi.
Dari sini kemudian manusia menggagas hidupnya secara lebih bermartabat dan terhormat. Manusia kemudian punya kecenderungan alamiah untuk mengarahkan hidupnya kepada kebaikan dan menolak keburukan. Apa saja yang baik, itulah yang dikejar dan diusahakan. Hidup sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lain sebagainya kemudian digagas untuk menggapai kebaikan.

 2.2 Moralitas Obyektif
            Moralitas obyektif lahir dari kesadaran manusia untuk mencapai  kebaikan bersama. Moralitas obyektif adalah tata nilai yang secara obyektif ada dan dipatuhi bersama sebagai konsekuensi dari kodrat manusia sebagai makhluk berakal budi.
            Moralitas seperti ini hadir dalam bentuk aneka peraturan, perundangan, norma, dan nilai-nilai yang berkembang dalam tata hidup bersama. Ia bisa berwujud aturan yang sudah diwariskan turun-temurun, tetapi bisa juga berwujud aturan yang dengan sengaja dibuat untuk pencapaian kebaikan bersama, misalnya undang-undang, KUHP, aneka tata-tertib, dll. Untuk mencegah korupsi misalnya, manusia kemudian membuat undang-undang antikorupsi.
            Pelanggaran terhadap moralitas obyektif ini mengakibatkan si pelanggar dikenai sanksi dan hukum yang berlaku. Seorang koruptor, misalnya, harus dihukum jika secara obyektif dia terbukti melakukan korupsi.

2.3 Moralitas Subyektif
            Moralitas subyektif adalah tata nilai yang secara konstitutif ada di dalam hati sanubari manusia. Karena setiap manusia berakal budi, maka setiap manusia mempunyai dalam dirinya sendiri tata nilai yang mengantarnya kepada kebaikan, dan ini harus ditaati.
            Berbeda dengan moralitas obyektif, pelanggaran terhadap norma subyektif ini tidak bisa dikenai hukum obyektif. Lalu instansi apa yang bisa mengawasi moralitas subyektif semacam ini? Bukan polisi, tentara, jaksa, ataupun KPK, melainkan hati nurani! Hati nurani inilah yang kemudian terlanggar jika seseorang memilih untuk menyimpang kepada keburukan dengan mau-tahu-dan bebas.
            Secara sekilas, agaknya moralitas subyektif ini sanksinya lebih ringan karena hanya dirinya sendiri yang tahu. Tetapi betulkah demikian? Tidak! Justru sanksi dari moralitas subyektif ini akan menghantuinya seumur hidup. Jika hukuman obyektif (sanksi penjara misalnya) hanya berlaku selama beberapa tahun dan setelah itu ia bisa melenggang bebas, tidak demikian dengan sanksi yang dijatuhkan nurani manusia!
 
2.4 Korupsi
Korupsi berdasarkan pemahaman pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Korupsi merupaka tindakan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau sebuah korporasi) , yang secara langusng maupun tidak langsung merugikan keuangan atau prekonomian negara, yang dari segi materiil perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan masyarakat.

Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi, yaitu :
  1. Penegakan hukum tidak konsisten, penegakan hukum hanya sebagai make up politik, sifatnya sementara, selalu berubah setiap berganti pemerintahan.
  2. Penyalahgunaan kekuasaan/wewenanng, takut dianggap bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan.
  3. Langkanya lingkungan yang antikorup, sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.
  4. Rendahnya  pendapatan penyelenggara Negara.  Pendapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara Negara, mampu mendorong penyelenggara Negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
  5. Kemiskinan, keserakahan, masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi.  Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
  6. Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah.
  7. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi, saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya.
  8. Budaya permisif/serba membolehkan, tidak mau tahu, menganggap biasa bila sering terjadi.  Tidak peduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
  9. Gagalnya pendidikan agama dan etika.  Pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri.  Sebenarnya agama bisa memainkan peran yang lebih besar dalam konteks kehidupan sosial dibandingkan institusi lainnya, sebab agama memiliki relasi atau hubungan emosional dengan para pemeluknya.  Jika diterapkan dengan benar kekuatan relasi emosional yang dimiliki agama bisa menyadarkan umat bahwa korupsi bisa membawa dampak yang sangat buruk (Indopos.co.id, 27 September 2005)


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Untuk memperoleh data yang digunakan dalam tugas ini, penulis menggunakan metode searching di Internet, yaitu dengan membaca referensi – referensi yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam tugas ini.
Penulis juga memperoleh data dari pengetahuan yang penulis ketahui. Selain itu penulis juga mencari data melalui media elektronik seperti menonton acara berita yang secara tidak sengaja membahas tentang moralitas koruptor.



BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Mengapa semakin marak korupsi yang ada di Indonesia dan mengapa bisa terjadi?

Salah satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini adalah korupsi. Sebenarnya korupsi itu sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia zaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat.
Di Indonesia sendiri kejahatan korupsi sudah demikian parah dan merajalela khususnya yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang ada di Indonesia sekarang ini. DPR yang seharusnya bertugas memajukan kesejahteraan rakyat, tetapi malah mereka sendiri yang menyengsarakan rakyat Indonesia dengan cara melakukan tindak korupsi. Sampai artis yang terkenalpun yang menjadi menjabat sebagai DPR juga melakukan tindak kejahatan yang sangat ganas ini.  Di kalangan pejabat Negara di Indonesia seperti saat ini, tindak korupsi seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti DPR. Apalagi mengingat di akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui diman-mana, mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi.
Di Indonesia korupsi sudah menjadi budaya tersendiri bagi kaum yang serakah akan sebuah kekayaan semata sehingga menyebabkan dampak kemiskinan dimana-mana terhadap rakyat yang berekonomi kecil ataupun susah dalam hal ekonomi, korupsi juga menyebabkan kerugian terhadap Negara sehingga Negara mengalami sebuah penurunan pendapatan nasional (APBN) maupun daerah (APBD).
Korupsi dari yang bernilai jutaan hingga miliaran rupiah yang dilakukan para pejabat pemerintah terus terjadi sehingga dapat disinyalir negara mengalami kerugian hingga triliunan rupiah. Tentunya ini bukan angka yang sedikit, melihat kebutuhan kenegaraan yang semakin lama semakin meningkat. Jika uang yang dikorupsi tersebut benar-benar dipakai untuk kepentingan masyarakat demi mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kualitas pendidikan, mungkin cita-cita tersebut bisa saja terwujud. Dana-dana sosial akan sampai ke tangan yang berhak dan tentunya kesejahteraan masyarakat akan meningkat.
Sering kali kita lihat para tersangka korupsi sekian milyar rupiah hanya mendapatkan hukuman  beberapa tahun penjara, yang rasanya sangat tidak sepadan dengan kejahatan yang mereka lakukan. Bahkan selain mendapatkan hukuman penjara yang dikatakan sangat ringan, sering pula para tersangka korupsi tersebut mendapatkan keringanan atas hukuman mereka.
Jadi seperti telah disebutkan sebelumnya korupsi bukanlah semata kejahatan karena hasrat yang didorong oleh motif ekonomi tetapi lebih kepada kejahatan perhitungan reward yang mereka peroleh dan hukuman yang mungkin didapatkan. Untuk kasus di Indonesia hal itu terlihat sangat relevan melihat lemahnya penegakan hukum di Indonesia dan makin maraknya kasus korupsi di Indonesia.
Memasuki masa atau era reformasi, para pemimpin daerah di negeri ini mulai mengumbar janji akan segera melakukan berbagai macam tindakan untuk melakukan pembenahan pembangunan di bidang Pendidikan dan Kesehatan dengan membebaskan biaya untuk masyarakat, namun nyatanya masih sangat banyak para oknum pejabat di bidang tersebut sering menyalahkan jabatan untuk mencari keuntungan semata.
Korupsi benar-benar telah menjadi permasalahan akut dan sistemik yang sangat membahayakan dan merugikan negara maupun masyarakat, terlebih di negara kecil dan berkembang seperti Indonesia. Padahal,  masyarakat pada umumnya bukannya tidak menyadari bahwa korupsi telah menciderai rakyat miskin dengan terjadinya penyimpangan dana yang semestinya diperuntukkan bagi pembangunan dan kesejahteraan mereka. Korupsi juga telah mengikis kemampuan pemerintah untuk menyediakan pelayanan dan kebutuhan dasar bagi rakyatnya, sehingga pemerintah tidak mampu lagi menyediakan kebutuhan pangan bagi masyarakatnya secara adil. Lebih jauh lagi, korupsi bahkan telah meruntuhkan demokrasi dan penegakan hukum, mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia, mengacaukan pasar, mengikis kualitas kehidupan dan memicu terjadinya kejahatan terorganisir, terorisme dan ancaman-ancaman lainnya terhadap keamanan masyarakat, serta menghambat masuknya bantuan dan investasi asing. Dengan kata lain, korupsi merupakan salah satu elemen yang turut memberikan kontribusi bagi terjadinya keterbelakangan dan buruknya kinerja ekonomi Indonesia, sekaligus merupakan salah satu penghambat utama bagi pembangunan dan upaya pengentasan kemiskinan.

Permasalahan Praktik Korupsi di Indonesia yang semakin meningkat, baik secara kuantitaif maupun kualitatif. Modus operasinya pun makin canggih. Pelakunya juga beragam, latar belakang profesi, usia, dan pendidikan. Yang lebih maraknya yaitu yang dilakukan oleh pejabat Negara DPR Indonesia sekarang ini. Korupsi masih merupakan penghambat bagi pertumbuhan ekonomi, penghambat kecerdasan anak bangsa, dan kemajuan bangsa. Namun sampai saat ini belum ada langkah yang tepat untuk menangani kasus korupsi tersebut.
Maraknya korupsi di Indonesia seakan sulit untuk diberantas dan telah menjadi budaya. Pada dasarnya, korupsi adalah suatu pelanggaran hukum yang kini telah menjadi suatu kebiasaan. Berdasarkan data Transparency International Indonesia, kasus korupsi di Indonesia belum teratasi dengan baik. Indonesia menempati peringkat ke-100 dari 183 negara pada tahun 2011 dalam Indeks Persepsi Korupsi. Di era demokrasi, korupsi akan mempersulit pencapaian good governance dan pembangunan ekonomi. Terlebih yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Perilaku korup di masyarakat Indonesia sangat sulit diberantas. Mesti sudah ada paying hokum yang memberantas perilaku negative yang sangat merugikan masyarakat ini. Indonesia Corruption Wath (ICW) menyatakan salah satu kegagalan menangani korupsi karena aturan yang ada tak lengkap. Karena itu pemerintah harus mencabut Undang – undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Tahun 2006 karena tidak sesuai dengan ketentuan United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC).
Menurut peneliti ICW Tama S Langkun, UNCAC telah menghasilkan beberapa prinsip penting yang harus dilaksanakan para pesertanya. Antara lain menerapkan peraturan nasional mendasar tentang pencegahan korupsi dengan membangun, menerapkan memelihara efektifitas dan mengkoordinasikan kebijakan anti korupsi yang melibatkan partisipasi masyarakat.
Tama menuturkan ada empat isu utama yang berkaitan dengan penguatan sanksi pidana atas tindak pidana korupsi, yaitu sebagai berikut :
Pertama, unsur merugikan keuangan Negara yang terdapat dalam pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, justru mengatasi upaya pemberantasan korupsi.
Kedua, pemberian sanksi atas beberapa tindakan pidana korupsi perlu diatur kembali karena perbedaan sanksi penjara yang cukup jauh antara satu tindak pidana dengan tindak pidana lainnya.
Ketiga, perlu ada pengaturan khusus tentang suap kepada pegawai public asing, pegawai organisasi internasional, maupun swasta, memperdagangkan pengaruh serta peningkatan harta kekayaan secara mencurigakan.
Keempat, bentuk suap yang tidak jelas peruntukannya ditambah lagi adanya imunitas yang diberikan kepada pelapor melalui pasal 12 C UU Tipikor.
“Keempat hal tersebut menunjukkan UNCAC di Indonesia belum berjalan maksimal padahal sudah enam tahun lalu Indonesia sudah meratifikasi UNCAC dan mengadopsinya dalam UU No 7 Tahun 2006”.


4.2. Bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis?

Dengan adanya praktek korupsi yang sedang marak terjadi di Indonesia, seperti proses perizinan usaha sebuah perusahaan yang berbelit-belit dan dengan biaya tinggi yang tidak pada semestinya dikarenakan ada oknum tertentu dengan sengaja mengambil sebagian biaya tersebut. Dengan adanya praktek pungutan yang tidak semestinya, maka hal tersebut, tentunya sangat berdampak pada kegiatan bisnis dalam suatu perusahaan karena dengan adanya praktek-praktek korupsi oleh pihak-pihak/oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab ini akan membebankan perusahaan  seperti adanya High Cost sehingga hal tersebut berpengaruh pula pada harga dari sebuah produk barang atau jasa yang dihasilkan.

Akibat – akibat korupsi adalah :
    1. Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
    2. Ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
  3. Pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.

Dengan demikian Secara umum akibat korupsi adalah merugikan Negara dan merusak sendi – sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945.


4.3. Siapa yang bertanggung jawab akan adanya korupsi di Indonesia?

Yang harus bertanggung jawab akan adanya korupsi di Indonesia adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tujuan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi menurut pasal 4 adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Sedangkan tugas dan wewenang KPK menurut pasal 6 adalah :
  1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
  2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
      3.  Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
   4.   Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
    5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.



BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN



KESIMPULAN        :

 « Tindak korupsi yang ada di Indonesia yang dilakukan oleh pejabat Negara yaitu DPR (Dewan perwakilan Rakyat) semakin marak dan merajalela dalam masyarakat.
 «  Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan Negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan yang semakin sistematis oleh pejabat Negara.
 « Penyebab terjadinya korupsi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara, maupun teman. Di samping itu, masih banyak penyebab-penyebab terjadinya korupsi yang ada di Indonesia saat ini.


SARAN                      :

      1. Korupsi harus di berantas oleh pejabat Negara yang masih mengalami hambatan koordinasi intra dan antar lembaga pemerintahan yang masih lemah.
      2. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) harus lebih bertindak lagi dalam mengatasi permasalahan yang sulit ini, yaitu dengan cara mejalankan Law Enforcement, meningkatkan hukuman yang lebih berat terhadap koruptor, serta pengawasan yang efektif.
      3. Sebaiknya cara penanggulangan korupsi adalah bersifat Preventif dan Represif. Pencegahan Preventif yang perlu dilakukan adalah dengan menumbuhkan dan membangun etos kerja pejabat maupun pegawai, Sedangkan Pencegahan Represif yang perlu dilakukan adalah penegakan hukum dan hukuman yang berat perlu dilaksanakan dan apabila terkait dengan implementasinya.



DAFTAR PUSTAKA
http://agustinuswisnudewantara.wordpress.com/moral-dan-korupsi/
http://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-in/2000320
http://jaringnews.com/keadilan/umum/34902/kpk-korupsi-sudah-jadi-bisnis-yang-menjanjikan
http://acch.kpk.go.id/6-strategi-pencegahan-dan-pemberantasan-korupsi 
http://melisanti91.blogspot.com/2013/11/korupsi.html