NAMA
: MUHAMMAD IQBAL KHOZIANA
NPM
: 14211877
KELAS
: 4EA17
TUGAS KE : 4 SOFTSKILL
(ETIKA BISNIS)
MORALITAS KORUPTOR
ABSTRAK
Muhammad Iqbal Khoziana, 4EA17, 14211877
MORALITAS KORUPTOR
Makalah. Jurusan Manajemen, Fakultas
Ekonomi, Universitas Gunadarma, 2014
Kata kunci : Moralitas
Koruptor
Penulisan
yang berjudul “ Moralitas Koruptor“ ini membahas tentang korupsi yang semakin marak dewasa ini, mengapa bisa terjadi
dan bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis dan siapa yang harus
bertanggung jawab. Makalah
ini dilatarbelakangi Korupsi bertumbuh sangat subur dan rumit sehingga siap
meruntuhkan setiap struktur masyarakat. Di beberapa negeri, apa saja
diselesaikan dengan pelicin. Suap yang diberikan kepada orang yang tepat
memungkinkan seseorang lulus ujian, mendapatkan SIM, memperoleh tender, atau
memenangkan perkara hukum.. Metode penulisan ini dengan cara mengumpulkan
berbagai informasi yang dari sumber-sumber yang terdapat di internet.
Berdasarkan pencarian penulis di internet ternyata Korupsi dewasa ini telah
menjadi bisnis yang menjanjikan. Para pelakunya merencanakannya dengan perhitungan
bisnis yang matang. Oleh karena itu, hukuman tiga atau empat tahun dianggap
sebagai biaya yang harus ditanggung demi mencapai hasil besar yang diinginkan.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyuapan khususnya merajalela di
dunia perdagangan. Beberapa perusahaan mengalokasikan sepertiga dari seluruh
keuntungan mereka hanya untuk menyuap para birokrat pemerintah yang korup.
Menurut majalah Inggris The Economist, 10 persen dari
25 miliar dolar yang dibelanjakan setiap tahun pada perdagangan senjata
internasional dihabiskan untuk menyuap calon pelanggan. Skala korupsi semakin
membengkak, dan akibatnya sungguh tragis. Selama sepuluh tahun terakhir,
kapitalisme ”kroni”—praktek bisnis korup yang mementingkan koneksi—dikabarkan
telah menjatuhkan perekonomian dunia.
Tak pelak lagi, yang paling menderita
akibat korupsi dan keruntuhan ekonomi ini adalah orang-orang miskin—orang-orang
yang jarang mendapat kesempatan untuk melakukan penyuapan. Seperti yang dengan
tepat dinyatakan oleh The Economist, ”korupsi tidak lain adalah suatu
bentuk penindasan”. Dapatkah penindasan semacam ini ditanggulangi, atau apakah
korupsi memang tak terelakkan? Untuk menjawabnya, pertama-tama kita harus
mengidentifikasi beberapa penyebab dasar korupsi.
Korupsi
bukanlah merupakan barang yang baru dalam sejarah peradaban manusia. Fenomena ini
telah dikenal dan menjadi bahan diskusi bahkan sejak 2000 tahun yang lalu
ketika seorang Perdana Menteri Kerajaan India bernama Kautilya
menulis buku berjudul Arthashastra.
Indonesia adalah salah satu negara
terkorup di dunia. Korupsi bisa dilakukan melalui berbagai jalur, ada yang
melalui pinjaman dari Negara asing, sehingga semakin besar pinjaman asing
semakin besar dana yang disalahgunakan, melalui perjalanan dinas, melalui
pengadaan barang, pungutan pajak, pungutan liar, bahkan sampai dana untuk orang
miskin dan bencana alam. Korupsi benar-benar merupakan perbuatan yang
menghancurkan generasi muda dan memiskinkan rakyat Indonesia.
Kasus korupsi di Indonesia yang
sudah terjadi selama puluhan tahun berhasil diungkap satu per satu saat
reformasi digulirkan pada 1998. Peristiwa 1998 ini pun dianggap sebagai
peristiwa bersejarah, bahkan mampu menyebabkan hilangnya beberapa nyawa. Kasus
korupsi yang terbongkar dimulai dengan tuduhan korupsi yang dilakukan pemimpin
rezim Orde Baru, lalu beberapa kasus korupsi pejabat lain.
Kasus korupsi tampaknya sudah
mendarah daging di kalangan masyarakat Indonesia, terutama yang menduduki
posisi pejabat Negara. Sejatinya, mereka mengayomi serta menjamin kesejahteraan
rakyat. Namun, menjamin kesejahteraan diri dan keluarga tampaknya lebih menarik
hai para pejabat sehingga tidak heran jika pemberitaan kasus korupsi terus
menghiasi layar kaca.
Uang yang dirampok para maling kakap
itu pun tidak tanggung – tanggung. Jumlah uang yang dilipat itu, bahkan, bias
mencapai jumlah ratusan miliar dan ratusan triliun. Sungguh angka yang
fantastis dan cukup digunakan untuk mengangkat “derajat” serta memperjuangkan
hak hidup masyarakat Indonesia dari ranah kemiskinan.
Tindak korupsi yang ada di Indonesia
saat ini sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari
tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian
keuangan Negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan yang
semakin sistematis oleh pejabat Negara.
Korupsi bisa dikatakan sebagai hal
yang tidak terlepaskan dari kehidupan bangsa Indonesia. Hal itu dapat dilihat
dari “prestasi” bangsa Indonesia dengan menduduki peringkat-peringkat atas
negara terkorup di dunia dalam beberapa tahun belakangan ini. .
1.2
Batasan Masalah
Dalam penyusunan ini penulis membatasi menjadi beberapa sub
pokok bahasan meliputi :
1. Mengapa semakin marak korupsi yang ada di Indonesia
dan mengapa bisa terjadi?
2. Bagaimana dampaknya
terhadap sebuah kegiatan bisnis?
3. Siapa yang bertanggung
jawab akan adanya korupsi di Indonesia?
1.3
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulis untuk memenuhi tugas softskill mata
kuliah Etika Bisnis dalam membuat jurnal atau tulisan tentang Moralitas
Koruptor apa saja. Maksud dari penulisan ini adalah :
1.
Untuk mengetahui penyebab terjadinya korupsi di Indonesia.
2. Untuk mengetahui
jenis-jenis korupsi dan stop terjadinya korupsi di Indonesia.
3. Dapat
memberikan gambaran/kriteria dalam pengambilan keputusan/solusi kasus korupsi.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Moral
Moral adalah kaidah mengenai apa
yang baik dan buruk. Sesuatu yang baik kemudian diberi label “bermoral.”
Sebaliknya, tindakan yang bertentangan dengan kebaikan lantas dikategorikan
sebagai sesuatu yang jahat, buruk, atau: “tidak bermoral.”
Semua orang sepakat bahwa manusia adalah makhluk yang istimewa, unik, dan
berbeda dengan aneka ciptaan Tuhan yang lain. Keunikan tersebut menjadi faktor
pembeda yang tegas antara manusia dan makhluk yang lain. Lalu apa yang
membedakan manusia dengan makhluk yang lain? Tentu akal budinya!
Akal budi inilah yang memampukan manusia untuk membedakan apa yang baik dan
yang buruk. Dengan demikian manusia tidak tunduk pada insting belaka. Aneka
nafsu, hasrat, dan dorongan alamiah apapun diletakkan secara harmonis di bawah
kendali budi.
Dari sini kemudian manusia menggagas hidupnya secara lebih
bermartabat dan terhormat. Manusia kemudian punya kecenderungan alamiah untuk
mengarahkan hidupnya kepada kebaikan dan menolak keburukan. Apa saja yang baik,
itulah yang dikejar dan diusahakan. Hidup sosial, ekonomi, politik, budaya, dan
lain sebagainya kemudian digagas untuk menggapai kebaikan.
2.2 Moralitas
Obyektif
Moralitas obyektif lahir dari kesadaran manusia untuk mencapai kebaikan
bersama. Moralitas obyektif adalah tata nilai yang secara obyektif ada dan dipatuhi
bersama sebagai konsekuensi dari kodrat manusia sebagai makhluk berakal budi.
Moralitas seperti ini hadir dalam bentuk aneka peraturan, perundangan, norma,
dan nilai-nilai yang berkembang dalam tata hidup bersama. Ia bisa berwujud aturan
yang sudah diwariskan turun-temurun, tetapi bisa juga berwujud aturan yang
dengan sengaja dibuat untuk pencapaian kebaikan bersama, misalnya
undang-undang, KUHP, aneka tata-tertib, dll. Untuk mencegah korupsi misalnya,
manusia kemudian membuat undang-undang antikorupsi.
Pelanggaran terhadap moralitas obyektif ini mengakibatkan si pelanggar dikenai
sanksi dan hukum yang berlaku. Seorang koruptor, misalnya, harus dihukum jika
secara obyektif dia terbukti melakukan korupsi.
2.3 Moralitas Subyektif
Moralitas subyektif adalah tata nilai yang secara konstitutif ada di dalam hati
sanubari manusia. Karena setiap manusia berakal budi, maka setiap manusia
mempunyai dalam dirinya sendiri tata nilai yang mengantarnya kepada kebaikan,
dan ini harus ditaati.
Berbeda dengan moralitas obyektif, pelanggaran terhadap norma subyektif ini
tidak bisa dikenai hukum obyektif. Lalu instansi apa yang bisa mengawasi
moralitas subyektif semacam ini? Bukan polisi, tentara, jaksa, ataupun KPK, melainkan
hati nurani! Hati nurani inilah yang kemudian terlanggar jika seseorang memilih
untuk menyimpang kepada keburukan dengan mau-tahu-dan bebas.
Secara sekilas, agaknya moralitas subyektif ini sanksinya lebih ringan karena
hanya dirinya sendiri yang tahu. Tetapi betulkah demikian? Tidak! Justru sanksi
dari moralitas subyektif ini akan menghantuinya seumur hidup. Jika hukuman
obyektif (sanksi penjara misalnya) hanya berlaku selama beberapa tahun dan
setelah itu ia bisa melenggang bebas, tidak demikian dengan sanksi yang
dijatuhkan nurani manusia!
2.4 Korupsi
Korupsi berdasarkan pemahaman pasal
2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Korupsi merupaka tindakan
melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau
sebuah korporasi) , yang secara langusng maupun tidak langsung merugikan
keuangan atau prekonomian negara, yang dari segi materiil perbuatan itu
dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan
masyarakat.
Faktor-faktor penyebab terjadinya
korupsi, yaitu :
- Penegakan hukum tidak konsisten, penegakan hukum hanya sebagai make up politik, sifatnya sementara, selalu berubah setiap berganti pemerintahan.
- Penyalahgunaan kekuasaan/wewenanng, takut dianggap bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan.
- Langkanya lingkungan yang antikorup, sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.
- Rendahnya pendapatan penyelenggara Negara. Pendapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara Negara, mampu mendorong penyelenggara Negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
- Kemiskinan, keserakahan, masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
- Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah.
- Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi, saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya.
- Budaya permisif/serba membolehkan, tidak mau tahu, menganggap biasa bila sering terjadi. Tidak peduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
- Gagalnya pendidikan agama dan etika. Pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Sebenarnya agama bisa memainkan peran yang lebih besar dalam konteks kehidupan sosial dibandingkan institusi lainnya, sebab agama memiliki relasi atau hubungan emosional dengan para pemeluknya. Jika diterapkan dengan benar kekuatan relasi emosional yang dimiliki agama bisa menyadarkan umat bahwa korupsi bisa membawa dampak yang sangat buruk (Indopos.co.id, 27 September 2005)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Untuk memperoleh data yang digunakan
dalam tugas ini, penulis menggunakan metode searching di Internet, yaitu dengan
membaca referensi – referensi yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam
tugas ini.
Penulis juga memperoleh data dari
pengetahuan yang penulis ketahui. Selain itu penulis juga mencari data melalui
media elektronik seperti menonton acara berita yang secara tidak sengaja
membahas tentang moralitas koruptor.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Mengapa semakin marak korupsi
yang ada di Indonesia dan mengapa bisa terjadi?
Salah satu tindak pidana yang
menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini adalah korupsi. Sebenarnya korupsi
itu sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik perhatian dunia
sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini
sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan
bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia zaman penjajahan yaitu
dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada
penguasa setempat.
Di Indonesia sendiri kejahatan
korupsi sudah demikian parah dan merajalela khususnya yang dilakukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang ada di Indonesia sekarang ini. DPR yang seharusnya
bertugas memajukan kesejahteraan rakyat, tetapi malah mereka sendiri yang
menyengsarakan rakyat Indonesia dengan cara melakukan tindak korupsi. Sampai
artis yang terkenalpun yang menjadi menjabat sebagai DPR juga melakukan tindak
kejahatan yang sangat ganas ini. Di kalangan pejabat Negara di Indonesia
seperti saat ini, tindak korupsi seperti sebuah penyakit kanker ganas yang
menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara
seperti DPR. Apalagi mengingat di akhir masa orde baru, korupsi hampir kita
temui diman-mana, mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi.
Di Indonesia korupsi sudah menjadi
budaya tersendiri bagi kaum yang serakah akan sebuah kekayaan semata sehingga
menyebabkan dampak kemiskinan dimana-mana terhadap rakyat yang berekonomi kecil
ataupun susah dalam hal ekonomi, korupsi juga menyebabkan kerugian terhadap
Negara sehingga Negara mengalami sebuah penurunan pendapatan nasional (APBN)
maupun daerah (APBD).
Korupsi dari yang bernilai jutaan
hingga miliaran rupiah yang dilakukan para pejabat pemerintah terus terjadi
sehingga dapat disinyalir negara mengalami kerugian hingga triliunan rupiah.
Tentunya ini bukan angka yang sedikit, melihat kebutuhan kenegaraan yang
semakin lama semakin meningkat. Jika uang yang dikorupsi tersebut benar-benar
dipakai untuk kepentingan masyarakat demi mengentaskan kemiskinan dan
meningkatkan kualitas pendidikan, mungkin cita-cita tersebut bisa saja
terwujud. Dana-dana sosial akan sampai ke tangan yang berhak dan tentunya
kesejahteraan masyarakat akan meningkat.
Sering kali kita lihat para
tersangka korupsi sekian milyar rupiah hanya mendapatkan hukuman beberapa
tahun penjara, yang rasanya sangat tidak sepadan dengan kejahatan yang mereka
lakukan. Bahkan selain mendapatkan hukuman penjara yang dikatakan sangat
ringan, sering pula para tersangka korupsi tersebut mendapatkan keringanan atas
hukuman mereka.
Jadi seperti telah disebutkan
sebelumnya korupsi bukanlah semata kejahatan karena hasrat yang didorong oleh
motif ekonomi tetapi lebih kepada kejahatan perhitungan reward yang mereka
peroleh dan hukuman yang mungkin didapatkan. Untuk kasus di Indonesia hal itu
terlihat sangat relevan melihat lemahnya penegakan hukum di Indonesia dan makin
maraknya kasus korupsi di Indonesia.
Memasuki masa atau era reformasi,
para pemimpin daerah di negeri ini mulai mengumbar janji akan segera melakukan
berbagai macam tindakan untuk melakukan pembenahan pembangunan di bidang
Pendidikan dan Kesehatan dengan membebaskan biaya untuk masyarakat, namun
nyatanya masih sangat banyak para oknum pejabat di bidang tersebut sering
menyalahkan jabatan untuk mencari keuntungan semata.
Korupsi benar-benar telah menjadi
permasalahan akut dan sistemik yang sangat membahayakan dan merugikan negara
maupun masyarakat, terlebih di negara kecil dan berkembang
seperti Indonesia. Padahal, masyarakat pada umumnya bukannya
tidak menyadari bahwa korupsi telah menciderai rakyat miskin dengan terjadinya
penyimpangan dana yang semestinya diperuntukkan bagi pembangunan dan
kesejahteraan mereka. Korupsi juga telah mengikis kemampuan pemerintah untuk
menyediakan pelayanan dan kebutuhan dasar bagi rakyatnya, sehingga pemerintah
tidak mampu lagi menyediakan kebutuhan pangan bagi masyarakatnya secara adil.
Lebih jauh lagi, korupsi bahkan telah meruntuhkan demokrasi dan penegakan
hukum, mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia,
mengacaukan pasar, mengikis kualitas kehidupan dan memicu terjadinya kejahatan
terorganisir, terorisme dan ancaman-ancaman lainnya terhadap keamanan
masyarakat, serta menghambat masuknya bantuan dan investasi asing. Dengan kata
lain, korupsi merupakan salah satu elemen yang turut memberikan kontribusi bagi
terjadinya keterbelakangan dan buruknya kinerja ekonomi Indonesia,
sekaligus merupakan salah satu penghambat utama bagi pembangunan dan upaya
pengentasan kemiskinan.
Permasalahan Praktik Korupsi di
Indonesia yang semakin meningkat, baik secara kuantitaif maupun kualitatif.
Modus operasinya pun makin canggih. Pelakunya juga beragam, latar belakang
profesi, usia, dan pendidikan. Yang lebih maraknya yaitu yang dilakukan oleh
pejabat Negara DPR Indonesia sekarang ini. Korupsi masih merupakan penghambat
bagi pertumbuhan ekonomi, penghambat kecerdasan anak bangsa, dan kemajuan
bangsa. Namun sampai saat ini belum ada langkah yang tepat untuk menangani
kasus korupsi tersebut.
Maraknya korupsi di Indonesia seakan
sulit untuk diberantas dan telah menjadi budaya. Pada dasarnya, korupsi adalah
suatu pelanggaran hukum yang kini telah menjadi suatu kebiasaan. Berdasarkan
data Transparency International Indonesia, kasus korupsi di Indonesia belum
teratasi dengan baik. Indonesia menempati peringkat ke-100 dari 183 negara pada
tahun 2011 dalam Indeks Persepsi Korupsi. Di era demokrasi, korupsi akan mempersulit
pencapaian good governance dan pembangunan ekonomi. Terlebih yang dilakukan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Perilaku korup di masyarakat
Indonesia sangat sulit diberantas. Mesti sudah ada paying hokum yang
memberantas perilaku negative yang sangat merugikan masyarakat ini. Indonesia
Corruption Wath (ICW) menyatakan salah satu kegagalan menangani korupsi karena
aturan yang ada tak lengkap. Karena itu pemerintah harus mencabut Undang –
undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Tahun 2006 karena tidak
sesuai dengan ketentuan United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC).
Menurut peneliti ICW Tama S Langkun,
UNCAC telah menghasilkan beberapa prinsip penting yang harus dilaksanakan para
pesertanya. Antara lain menerapkan peraturan nasional mendasar tentang
pencegahan korupsi dengan membangun, menerapkan memelihara efektifitas dan
mengkoordinasikan kebijakan anti korupsi yang melibatkan partisipasi
masyarakat.
Tama menuturkan ada empat isu utama
yang berkaitan dengan penguatan sanksi pidana atas tindak pidana korupsi, yaitu
sebagai berikut :
Pertama, unsur merugikan keuangan Negara yang terdapat dalam
pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana
Korupsi, justru mengatasi upaya pemberantasan korupsi.
Kedua, pemberian sanksi atas beberapa tindakan pidana
korupsi perlu diatur kembali karena perbedaan sanksi penjara yang cukup jauh
antara satu tindak pidana dengan tindak pidana lainnya.
Ketiga, perlu ada pengaturan khusus tentang suap kepada
pegawai public asing, pegawai organisasi internasional, maupun swasta,
memperdagangkan pengaruh serta peningkatan harta kekayaan secara mencurigakan.
Keempat, bentuk suap yang tidak jelas peruntukannya ditambah
lagi adanya imunitas yang diberikan kepada pelapor melalui pasal 12 C UU
Tipikor.
“Keempat hal tersebut menunjukkan UNCAC di Indonesia belum
berjalan maksimal padahal sudah enam tahun lalu Indonesia sudah meratifikasi
UNCAC dan mengadopsinya dalam UU No 7 Tahun 2006”.
4.2. Bagaimana dampaknya terhadap
sebuah kegiatan bisnis?
Dengan adanya praktek korupsi yang
sedang marak terjadi di Indonesia, seperti proses perizinan usaha sebuah
perusahaan yang berbelit-belit dan dengan biaya tinggi yang tidak pada
semestinya dikarenakan ada oknum tertentu dengan sengaja mengambil sebagian
biaya tersebut. Dengan adanya praktek pungutan yang tidak semestinya, maka hal
tersebut, tentunya sangat berdampak pada kegiatan bisnis dalam suatu perusahaan
karena dengan adanya praktek-praktek korupsi oleh pihak-pihak/oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab ini akan membebankan perusahaan seperti adanya High
Cost sehingga hal tersebut berpengaruh pula pada harga dari sebuah produk
barang atau jasa yang dihasilkan.
Akibat – akibat korupsi adalah :
1. Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap
penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
2. Ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan
oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
3. Pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas
administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
Dengan demikian Secara umum akibat
korupsi adalah merugikan Negara dan merusak sendi – sendi kebersamaan serta
memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam pembukaan
Undang – Undang Dasar 1945.
4.3. Siapa yang bertanggung jawab
akan adanya korupsi di Indonesia?
Yang harus bertanggung jawab akan
adanya korupsi di Indonesia adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tujuan
dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi menurut pasal 4 adalah untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak
pidana korupsi.
Sedangkan tugas dan wewenang KPK
menurut pasal 6 adalah :
1. Koordinasi dengan
instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi.
4. Melakukan
tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
:
« Tindak korupsi yang ada
di Indonesia yang dilakukan oleh pejabat Negara yaitu DPR (Dewan perwakilan
Rakyat) semakin marak dan merajalela dalam masyarakat.
« Perkembangannya terus
meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah
kerugian keuangan Negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan
yang semakin sistematis oleh pejabat Negara.
« Penyebab
terjadinya korupsi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang
dimiliki oleh pejabat demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi
atau keluarga, sanak saudara, maupun teman. Di samping itu, masih banyak
penyebab-penyebab terjadinya korupsi yang ada di Indonesia saat ini.
SARAN
:
1. Korupsi harus di berantas oleh pejabat
Negara yang masih mengalami hambatan koordinasi intra dan antar lembaga
pemerintahan yang masih lemah.
2. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) harus
lebih bertindak lagi dalam mengatasi permasalahan yang sulit ini, yaitu dengan
cara mejalankan Law Enforcement, meningkatkan hukuman yang lebih berat terhadap
koruptor, serta pengawasan yang efektif.
3. Sebaiknya cara penanggulangan korupsi adalah bersifat
Preventif dan Represif. Pencegahan Preventif yang perlu dilakukan adalah dengan
menumbuhkan dan membangun etos kerja pejabat maupun pegawai, Sedangkan
Pencegahan Represif yang perlu dilakukan adalah penegakan hukum dan hukuman
yang berat perlu dilaksanakan dan apabila terkait dengan implementasinya.
DAFTAR PUSTAKA
http://agustinuswisnudewantara.wordpress.com/moral-dan-korupsi/
http://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-in/2000320
http://jaringnews.com/keadilan/umum/34902/kpk-korupsi-sudah-jadi-bisnis-yang-menjanjikan
http://acch.kpk.go.id/6-strategi-pencegahan-dan-pemberantasan-korupsi
http://melisanti91.blogspot.com/2013/11/korupsi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar